Syamedia - (Catatan 64 Tahun Penjajahan Israel atas Palestina)
Bulan Mei adalah episode luka bagi rakyat Palestina. Tepat pada tanggal 14 Mei genap sudah enampuluh empat tahun penjajahan Israel yang mendapat dukungan politik Amerika Serikat atas bangsa Palestina. Israel menyebutnya kemerdekaan. Sementara bagi seluruh rakyat Palestina baik yang masih mendiami tanah kelahirannya maupun yang sudah tersebar di pengasingan, hari itu adalah hari peringatan An-Nakbah (prahara).
Pada hari yang sama di tahun 1948 itu, kaum Zionis memproklamirkan berdirinya negara Israel di atas tanah bangsa Palestina ketika Inggris mengakhiri mandatnya di Palestina. PM Israel Pertama Ben Gurion menyatakan perang kemerdekaan untuk merebut tanah Israel di luar kesepakatan Konferensi Perdamaian Versailes 1919. Sebanyak 2 juta rakyat Palestina pun diusir dari tanah kelahirannya sendiri. Di bulan Mei pada tahun itu terjadi pula dua tragedi pembantain keji yaitu peristiwa Naashiruddin di desa dekat Thabriya dan ‘Uyun Qaara di Bait Darais, dekat Tel Aviv.
Setelah itu, pelan-pelan wilayah Palestina berangsur-angsur mengecil dengan berbagai penggusuran, pembantaian, pembangunan sepihak pemukiman baru Yahudi dan tembok-tembok pembatas. Setiap hari peluru terdengar berdesingan. Rudal-rudal diledakkan. Bahkan bom fosfor-pun menghujani kamp-kamp pengungsi. Masjid suci ketiga umat Islam dibakar. Wanita-wanita diperkosa. Sementara anak-anaknya dibantai secara kejam sebelum ia siap menjadi martir. Lalu puluhan resolusi PBB pun semua mentah begitu saja akibat diveto negeri Paman Sam.
Teritorial Palestina yang tinggal menyisakan sedikit area di Gaza dan Tepi Barat juga harus menghadapi embargo ekonomi. Pasokan bantuan pangan untuk pengungsi sipil pun dipersulit. Puncaknya, juga di bulan Mei, tepat tanggal 31 Mei 2010 waktu subuh rombongan relawan kemanusiaan Freedom Flotilla yang berangkat membawa bantuan dengan Kapal Mavi Marmara diserang oleh tentara Israel. Sampai di sini, derita Palestina masih belum usai.
Tantangan Menuju Merdeka
Semua pihak yang masih bernurani pasti sepakat bahwa Palestina punya hak untuk merdeka. Sebab ia, seperti kata DR. Yusuf Qaradhawy, adalah tuan rumah yang diusir oleh maling. Maka ia memiliki hak untuk menjadi negara berdaulat yang diakui eksistensinya. Persoalannya, jalan menuju merdeka itu ternyata dipenuhi onak dan duri. Jalannya begitu terjal merintangi langkah pejuangnya.
Salah satu kendala paling krusial yang belum menemukan titik temu adalah perbedaan pendapat antara dua faksi utama yakni Harakah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah (Hamas) dan Fatah. Bagi Hamas yang memenangi Pemilu, kemerdekaan Palestina haruslah sejalan dengan deligitimasi atas eksistensi Israel. Karena yang mereka pahami segala macam perundingan hanyalah menguntungkan Israel dan sekutunya. Padahal Israel adalah sumber penderitaan bagi bangsa Palestina sejak lama. Prinsip mereka dapatkan semuanya atau tidak sama sekali. Menerima peta 1967 bagi Hamas sama dengan mengikhlaskan dan memberi hadiah gratis 78% tanah bangsanya.
Sedangkan faksi Fatah cenderung lebih akomodatif terhadap kepentingan Israel. Mereka menawarkan two state solution yang artinya menerima Israel tetap berdiri secara berdampingan bersama Palestina dengan batas negara yang ditetapkan PBB pada tahun 1967. Asalkan Palestina merdeka, Palestina siap berdamai.
Sayangnya, pertentangan ini masih belum mencapai kata sepakat. Maka ini adalah pekerjaan rumah bagi internal Palestina, bagi negara-negara Arab, negara-negara muslim dan siapa saja yang peduli kepada kemanusiaan untuk membantu rekonsiliasi kedua belah pihak sehingga langkah menuju Palestina merdeka semakin dekat. Sebab jika kedua faksi sudah satu suara mengajukan proposal merdeka ke PBB, Palestina hanya membutuhkan dukungan 19 negara saja untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan.
Tentu itu jumlah yang tak terlalu banyak. Apalagi di tengah fenomena musim semi Arab yang menjatuhkan pemimpin-pemimpin boneka AS semacam Hosni Mubarak dan menaikkan kelompok Islamis di singgasana kekuasaan negara-negara Timur Tengah. Bahkan beberapa waktu lalu pemimpin Turki menggunakan hak veto-nya dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk menolak kehadiran Israel dalam konferensi yang akan digelar pertengahan Mei ini. Secara psikologis, dukungan untuk Palestina di seluruh dunia semakin menguat. Setidaknya di forum UNESCO tahun lalu, keanggotaan Palestina telah diterima dengan memenangkan dukungan 107 suara.
Meski misalnya nanti Israel dan Palestina hidup bertetangga, Aqsha Working Group mencatat akan banyak sekali implikasinya bagi Palestina. Efek bola saljunya akan membawa banyak keuntungan bagi Palestina. Pertama, adanya right to returns (hak untuk kembali) bagi seluruh rakyat Palestina yang terdiaspora di berbagai negara. Dalam catatan UNRWA, sampai tahun 2010 saja jumlah pengungsi Palestina mencapai 4,7 juta orang. Gelombang besar pulang kampungnya bangsa Palestina ini pastilah tak diinginkan Israel
Kedua, soal perbatasan. Mengacu pada perbatasan pada tahun 1967, maka Israel akan kehilangan ratusan pemukiman Yahudi dan koloni Israel baik yang resmi maupun illegal di wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan. Artinya populasi Israel yang sudah mendiami wilayah tersebut harus hengkang. Jumlah besar pengungsi tanpa pekerjaan dan rumah tentu menjadi mimpi buruk bagi ekonomi Israel.
Selain itu, jika merdeka Palestina juga akan memiliki hak mendirikan DPR dan Pengadilan yang independen. Lagi-lagi ini menjadi masalah serius bagi Israel. Memang kemudian pilihan ini juga berdampak bahwa nantinya bangsa Palestina tidak akan bisa lagi untuk menuntut haknya atas tanah yang sudah dikuasai Israel.
4 D Dari Aceh untuk Palestina
Kontitusi Republik Indonesia yang anti-penjajahan di atas muka bumi telah menjadi dalil shahih bagi setiap warga negara untuk mendukung upaya pembebasan Palestina sehingga tidak layak jika ada komunitas yang hidup di Indonesia tapi berniat merayakan HUT Israel di ibukota. Khusus bagi kaum muslimin yang tinggal Aceh, ada kenangan tersendiri yang membuat kita memiliki ikatan erat dengan mereka. Mulai dari zaman kekhalifahan Utsmani sampai dengan peristiwa tsunami, di mana di tengah kepedihan akibat gempuran Israel, rakyat Gaza tetap peduli dan ikut memberi sumbangan materiil kepada rakyat Aceh.
Sungguh tak layak sekali rasanya jika sekarang kita tak tergerak untuk membalas kebaikan mereka. Kontribusi terpenting yang bisa kita berikan bagi Palestina saat ini adalah 4D yaitu diplomasi untuk dukungan kemerdekaan, dana untuk bantuan sosial kemanusiaan, doa untuk kekuatan hati, dakwah untuk penyadaran masyarakat akan urgensi kepedulian pada masalah ini, agar bangsa ini ingat ucapan Roeslan Abdulgani, Menlu RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung, “Israel adalah bab terakhir dari buku kolonialisme kuno, dan satu di antara bab yang paling hitam dan paling gelap dalam sejarah manusia.”
Sumber : Islamedia