Home » , » RA Kartini Ingin Menegakkan Citra Islam

RA Kartini Ingin Menegakkan Citra Islam

RA Kartini Ingin Menegakkan Citra Islam

RADEN Ajeng Kartini selama ini dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita. Ia dijuluki “pendekar kaumnya” untuk memperoleh hak pendidikan dan berkarya, atau berjuang demi kesetaraan wanita dengan kaum pria.

Sejatinya, Kartini adalah sosok wanita Muslimah yang tengah berjuang, yang belum sampai pada tujuan perjuangannya. Kartini masih berada dalam proses ketika ia meninggal dunia. Satu warisan perjuangan yang tampaknya dilupakan kaum wanita di negeri ini adalah keinginannya menjadi seorang Muslimah sejati, mengamalkan Islam secara baik dan benar, serta mengharumkan nama Islam.

Perjuangan dalam hal keislaman ini luput atau diluputkan dari sejarah Kartini, setidaknya jarang diekspos. Padahal, sebagaimana tertuang dalam surat-suratnya, Kartini menaruh perhatian besar pada agama yang dianutnya, Islam.

Kartini berusaha mendobrak adat yang berlaku pada masa itu yang membedakan sesama manusia berdasarkan warna darahnya. Menurut Kartini, yang membedakan derajat seseorang hanyalah pikirannya (fikrah) dan budi pekertinya (akhlak).



WARISAN PERJUANGAN YANG TERLUPAKAN
Kartini berada dalam proses dari kegelapan menuju cahaya. Namun cahaya itu belum sempurna menyinarinya karena terhalang oleh tabir tradisi dan usaha westernisasi. Kartini telah kembali kepada Pemiliknya sebelum ia menuntaskan usahanya untuk mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).

Kini wanita-wanita negerinya terbata-bata membaca cita-cita sesungguhnya dari Kartini. Bahkan kian hari emansipasi kian mirip saja dengan liberalisasi dan feminisasi. Kartini sendiri sesungguhnya makin meninggalkan semuanya dan ingin kembali kepada fitrahnya.

Kartini telah mencoba meretas jalan menuju benderang. Tapi anehnya, tak seorang pun melanjutkan perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang yang telah dipintal Kartini. Sungguhpun mereka merayakan hari lahirnya, namun mereka mengecilkan arti perjuangannya.

Gagasan-gagasan cemerlang Kartini yang dirumuskan dalam kamar yang sepi, mereka peringati di atas panggung yang bingar. Kecaman Kartini yang teramat pedas terhadap Barat, mereka artikan sebagai isyarat untuk mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan.

Kartini merupakan salah satu contoh figur sejarah yang lelah menghadapi pertarungan ideologi. Jangan kecam Kartini. Karena walau bagaimana pun, beliau telah berusaha mendobrak adat, mengelak dari Barat, untuk mengubah keadaan. “Manusia itu berusaha, Allah lah yang menentukan” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900).

Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini.

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902).

DARI KEGELAPAN MENUJU CAHAYA
Kegundahan dan pencarian Kartini mengundang hidayah Allah. Suatu ketika, Kartini ”menguping” pengajian bulanan khusus anggota keluarga di rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Penceramahnya, Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.

Seusai pengajian, Kartini menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat:

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” Tertegun Kyai Sholeh mendengar pertanyaan diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh tergugah untuk menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh memberinya hadiah terjemahan Al-Quran (Faizhur Rahman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama terdiri dari 13 juz, mulai Surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam.

Saat mempelajari Islam lewat Al-Quran terjemahan itu, Kartini menemukan dalam Surat Al-Baqarah: 257, bahwa Allah-lah yang membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur).

“Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya”.

Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti ”dari gelap kepada cahaya”. Dalam banyak suratnya, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan “Door Duisternis Tot Licht”. Kalimat tersebut diterjemahkan oleh Armijn Pane (Nasrani) sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Prof. Haryati Soebadio (cucu tiri Ibu Kartini) mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya”.

Setelah Kartini mengenal Islam, sikapnya terhadap Barat berubah: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).

Kartini juga menentang praktek Kristenisasi: “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).

Bahkan, Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah:193, berupaya untuk menegakkan citra Islam. “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902). Wallahu a’lam. (ASMR/Pusdai.com. Disarikan dari Swaramuslim.net, Media-Isnet.org, dan sumber-sumber lainya).*


Share this article :


 
Support : Terdepan | Menebar | Manfaat
Copyright © 2013. FKDF Unpad - All Rights Reserved
Template Created by Departemen Syiar Media Islam Modified by Rumah Desain
Proudly powered by Blogger