Home » , » Jangan Ada Dua Niat yang Saling Berlawanan

Jangan Ada Dua Niat yang Saling Berlawanan

Jangan Ada Dua Niat yang Saling Berlawanan

Oleh Ust. H. Taufik Hamim, Lc. MA.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلَ : ” إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ” رَوَاهُ إمَامَا الْمُحَدّثِينَ ، أبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعيلَ بْن إبراهِيمَ بْن المُغيرَةِ بنِ بَرْدِزْبهْ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلمٍ الْقُشَيريُّ النَّيْسَابُورِيُّ رضي اللهُ عنهما فِي صحيحيهما اللَّذَيْنِ هما أَصَحُّ الكُتبِ المصنفةِ . عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أُبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ وَ أَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ ابْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشُيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّف

Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khattab ra. berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh ganjaran berdasarkan apa yang telah diniatkannya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya (akan sampai). Siapa yang berhijrah untuk tujuan duniawi atau demi tujuan menikahi seorang wanita, maka hijrahnya (akan sampai) pada apa yang diniatkan.”



Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, di dalam kitab sahih mereka. Keduanya merupakan kitab yang paling sahih di antara kitab hadits yang pernah disusun.

KRONOLOGI HADITS


Waqi’ meriwayatkan dari Al-A’masy dari Syaqiq, bahwasanya dia berkata: “Ada seorang Arab Badui yang melamar seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Qais, tetapi dia menolak untuk menikah dengannya hingga lelaki itu berhijrah terlebih dahulu. Maka hijrahlah lelaki tersebut lalu menikahlah dia dengan Ummu Qais.”

Menurut Ibnu RajabRahimahullah, sebenarnya kisah itu tidak ada. Dia mengatakan dalam kitabnya, Jami’ul ‘ulum wal hikam. Kisah orang yang berhijrah karena untuk menikah dengan Ummu Qais sangat terkenal sebagai kronologis hadits Nabi SAW: ” Siapa yang berhijrah untuk tujuan duniawi atau demi tujuan menikahi seorang wanita, maka hijrahnya (akan sampai) pada apa yang diniatkan.”

Kisah itu memang disebutkan dalam kitab-kitab para ulama, tapi kami tidak dapat membuktikan kevalidannya.

URGENSI HADITS

Terlepas dari ada-tidaknya Sababul Wurud (kronologis) hadits niat ini, namun kalau kita baca dan kaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan niat, maka hadits tersebut memiliki keagungan dan urgensi tersendiri. Para ulama bahkan menggolongkan hadits tersebut sebagai asas atau pokok agama.

Muhammad Bin Idris — lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i rahimahullah—berkata: “Hadits ini adalah sepertiganya ilmu. Di dalamnya terdapat tujuh puluh pembahasan fiqih.”

Imam Syafi’i memandang, usaha atau amal ibadah seorang mukmin merupakan perpaduan antara beberapa unsur amaliah, yaitu hati, lisan, dan seluruh anggota tubuhnya. Sedangkan niat merupakan bagian dari tiga hal tersebut.

Ibnu RajabRahimahullah berkata: “Imam Bukhari mengawali kitab sahihnya dengan hadits ini. Dia menjadikannya sebagai pendahuluan, sebagai isyarat bahwa setiap amal perbuatan yang tidak ditujukan kepada Allah SWT, maka amalnya batil, tidak ada nilainya, baik di dunia maupun di akhirat.”

Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab, maka hendaklah dia memulainya dengan hadits “الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Ibnu Mas’ud r.a berkata: “Ucapan tidak bermanfaat apabila tidak diiringi dengan amal perbuatan. Sedangkan amal perbuatan itu juga tidak bermanfaat kecuali bila diirngi niat. Tidak bermanfaat ucapan, amal perbuatan, dan niat, kecuali apabila sejalan dengan sunah.”

Ibnu Mubarak rahimahullah berkata: “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar nilainya lantaran niat dan berapa banyak amalan besar menjadi tak bernilai lantaran niat pula.”

KANDUNGAN HADITS

Niat adalah syarat baik atau rusaknya suatu amalan. Pahala itu diberikan hanya untuk amal ibadah yang diiringi niat. Dalam ibadah inti, seperti shalat, haji, dan puasa, maka niat merupakan rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Namun, dalam ibadah yang merupakan sarana ibadah inti tersebut, seperti wudhu atau mandi, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Waktu niat adalah saat melakukan ibadah. Tempat niat itu di dalam hati dan tidak diucapkan. Namun ada pendapat, boleh saja diucapkan untuk membantu konsentrasi hati.

Niat ikhlas kepada Allah Ta’ala harus dilakukan pada semua amal ibadah karena seorang mukmin diberikan ganjaran dalam beramal sesuai dengan apa yang telah dia niatkan.

Setiap pekerjaan yang bemanfaat atau yang hukumnya mubah akan bernilai ibadah apabila diiringi niat dan mengharapkan ridha Allah Ta’ala. Jadi, yang membedakan antara ibadah dan kebiasaan adalah niat. Juga niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya, karena bila dia beramal baik dengan niat yang baik pula, maka baik pula amalnya.

Hadits ini juga menerangkan, niat adalah bagian dari keimanan seseorang karena niat adalah pekerjaan hati. Iman adalah pembenaran dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan perbuatan anggota tubuh. Iman akan bertambah dengan melakukan ketaatan dan akan berkurang dengan melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, dalam mengabdi pada Allah SWT jangan sampai ada dua niat yang saling berlawanan. Yang terbaik dan terutama adalah hanya satu niat semata, yaitu beribadah ikhlas karena Allah semata. Allahu A’lam.*

Taufik Hamim, Ketua Umum Muntada Ahlil Qur’an (The Quranic Community Forum) Jati Cempaka Pondok Gede Bekasi. Website: www.taufik-hamim.com & www.muntadaquran.net*



Share this article :


 
Support : Terdepan | Menebar | Manfaat
Copyright © 2013. FKDF Unpad - All Rights Reserved
Template Created by Departemen Syiar Media Islam Modified by Rumah Desain
Proudly powered by Blogger