Home » » Ketika Cinta Harus Memilih

Ketika Cinta Harus Memilih

Bismilillahirrahmanirrahiim....

Beberapa hari di Bekasi saya mencoba untuk kembali produktif menulis mengeluarkan semua unek-unek yang ada, unek-unek yang saya dapatkan saat berada di Jatinangor. Problem klasik, apalagi jika bukan cinta para aktivis. Sebenarnya sudah bosen menulis dan membicarakan ini semua, tapi kemudian saya teringat bahwa Allah berikan kita pilihan untuk selalu mengingatkan saudara kita agar kita sama-sama terjaga dalam indahnya iman. Seminggu saya pendam unek-unek ini dalam otak saya, saya pendam semakin lama hingga akhirnya adik saya pulang dari tempat dia menuntut ilmu selama ini dan kesempatan ini tidak saya sia-siakan, saya gunakan laptop milik adik untuk mengeluarkan semua unek-unek ini dalam bentuk tulisan. Tulisan ini tidak hanya membahas tentang masalah cinta para aktivis da’wah tapi juga hal lain yang berhubungan dengan yang selama ini terjadi diantara para aktivis, semoga kita dapat mengambil ibroh dari tulisan ini dan semua ini dibuat dengan maksud agar kita senantiasa menjadi manusia yang tidak merugi. Insya Allah. Amiiin.




Tulisan ini saya beri judul “Ketika Cinta Harus Memilih”.


Saya awali dengan beberapa pertanyaan.

Ketika Cinta harus memilih. Manakah yang kita pilih?


a. Tetap berselimut untuk menghindari dinginnya udara subuh atau terbangun memenuhi panggilan Sang Maha Pecinta?

b. Cinta lawan jenis yang menjadikan kita jauh terhadap Dzat yang seharusnya lebih kita cintai daripada diri kita sendiri atau tetap bersabar mendapatkan cinta yang halal dengan ikatan suci yang dibangun bukan hanya untuk kebahagiaan dunia tapi juga akhirat?

c. Perhatian manusia yang fana saat kita melakukan amal atau tetap beramal walau tidak pernah ada yang memuji karena yakin bahwa Allah senantiasa melihat setiap amal dan tidak menjadikan amal tersebut sia-sia, karena amal yang dilakukan selalu dengan niat hanya untuk mengharapkan ridha Allah semata?

d. Bangga dengan amal yang sedikit dan selalu membicarakan amal yang sedikit tersebut dengan maksud agar orang merasa kagum terhadap amal kita atau beramal dalam kesederhanaan?

e. Merasa diri lebih dari ikhwan lainnya sehingga sulit untuk diatur (baca: diarahkan) sehingga gerak amal yang dibangun bukan atas landasan amal jama’i tapi amal infiradhi plus rasa bangga atas kemampuan sendiri atau tetap merajut amal dengan tetap berpegang teguh terhadap jamaah dan disiplin terhadap setiap keputusan yang sudah dibuat oleh jamaah?


Masih banyak pertanyaan pilihan lainnya tapi saya cukupkan saja sampai di sini dulu. Kenapa saya awali dengan pertanyaan yang mengajak kita untuk memiih? Karena begitu pula lah Allah mengajarkan kepada kita. Dalam al-quran Allah berikan dua buah pilihan, pilihan menjadi fujur di satu sisi dan pilihan menjadi taqwa di sisi lain. Yup, hanya ada dua pilihan tidak ada yang ketiga atau keempat dan seterusnya. Dan setiap pertanyaan di atas pun akhirnya akan mengajak kita pada dua pilihan tersebut menjadi fujur atau taqwa? Dan tentu saja pilihan tersebut berdasar atas cinta.

Tidakkah kita melihat bagaimana Syeikh Ahmad Yassin menemui cintaNya? Beliau syahid saat sebagian besar para pemuda Islam bahkan beberapa dari mereka yang mengaku sebagai aktivis da’wah terlelap bertemankan selimut untuk menghalau udara dingin. Ya, syeikh Ahmad Yassin dengan kursi rodanya keluar dari rumahnya menuju masjid, melawan udara dingin juga kecongkakan penguasa tiran. Ia keluar rumah untuk menuju panggilan sang Pecinta, karena cinta beliau yang sangat besar kepada Sang Pecinta. Beliau meninggalkan indahnya dunia hingga akhirnya Sang Pecinta pun menebus cintanya dengan memberikan gelar syuhada kepadanya. Lalu dimana kita? Sudahkah cinta kita kepada Sang Pecinta mengalahkan dinginnya subuh untuk beranjak dari kasur melaksanakan dua rakaat saja memenuhi panggilan sang Pecinta? Jika kita masih jauh dari itu hingga harus menunggu sang mentari terbit melenyapkan dinginnya udara subuh untuk melaksanakan dua rakaat tersebut, lalu layak kah kita mendapatkan jannahNya? Sudah begitu banyak hadist yang menjelaskan tentang beratnya melaksanakan dua rakaat subuh bagi orang-orang munafik padahal pahalanya begitu besar. Juga tentang ketakutan Yahudi akan semakin banyaknya orang yang melaksanakan dua rakaat subuh di masjid.


Tidakkah kita baca bagaimana kemudian Yusuf as, memilih pilihan kedua untuk menjadi hamba yang bertaqwa hingga akhirnya Nabi Allah ini pun diketemukan kembali dengan Zulaikha. Kisah mereka adalah kisah cinta yang agung. Kisah ini lebih agung dari Romeo dan juliet, Laila dan Majnun. Sampai-sampai Al-Quran mendokumentasikan kisah mereka agar menjadi pelajaran bagi setiap manusia. Tidakkah Surat Yusuf dari ayat 22 sampai 33 sudah meyakinkan kita akan kesabaran Yusuf as yang lebih memilih penjara daripada kehilangan cinta Sang Pecinta padahal Yusuf as pun condong kepada Zulaikha. Kesabaran yang akhirnya menakdirkan Yusuf as untuk kembali bertemu dan mendapatkan cinta Zulaikha, bukan cinta yang dilandasi oleh nafsu tapi cinta yang halal, terbingkai dalam cinta kepada Sang Pecinta. Lalu, layak kah jikalau ada aktivis da’wah yang masih memilih cinta atas landasan nafsu dan sengaja mengumbarnya padahal ia sadar bahwa Allah sangat cemburu kepada kemaksiatan yang dilakukan oleh para aktivis da’wah?


Tidakkah kita baca kisah teladan dari seorang anak penjual susu yang tetap beramal shaleh untuk mendapatkan ridha Allah? saat Ibunya memintanya untuk mencapur susunya dengan air, dia tidak melakukannya, dengan sopan ia menjawab.


“Tidak boleh bu. Khalifah melarang kita mencampur susu yang akan kita jual dengan air".

"Tetapi semua orang berbuat demikian nak, campur sajalah !. Toh Khalifah tidak melihat kita
melakukan itu ....". kata sang ibu..

“Bu, sekalipun Amirul Mu'minin tidak melihat kita, namun Rabb dari Amirul Mu'minin pasti mengetahuinya". Masya Allah ..... Ucapan itu membuat khalifah Umar mengintai, berderai air mata.


Begitupun dengan kisah seorang anak pengembala dengan perkataanya ‘Lalu, dimana Allah?’ yang membuat Amirul Mu’miminin Umar Ibn Khatab menangis hingga akhirnya ia menjadi budak yang bebas.


Alangkah mulianya bila setiap muslim (baca: kita) menghiasi diri dan hidupnya dengan senantiasa bersama Allah swt. Karena sekecil apapun ia pasti tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk melakukan amal shaleh, karena ia sadar bahwa kehidupan di dunia merupakan kehidupan amal tanpa hisab dan kehidupan akhirat adalah kehidupan hisab tanpa amal. Kesadarannya (baca: sikap ihsan) inilah yang menjadikan ia terus menjadi produsen dari amal kebaikan di dunia.


Tidakkah kita sadar bahwa kesederhanaan dalam beramal yang dilakukan setiap muslim dapat membawanya ke dalam surga tentu saja kesederhanaan dalam beramal yang disertai ketulusan dan keikhlasan untuk senantiasa berpijak pada syariat Allah, dan dibingkai dengan bingkai “menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram”. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram artinya bahwa dirinya atau keinginannya mengikuti apa yang dihalalkan oleh Allah swt. serta menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah swt. Dan bukan atas dasar keinginan serta kemauan diri pribadinya (Al-Kahfi: 28).


Bahkan dalam hadits, Rasulullah saw. menegaskan bahwa hanya dengan melaksanakan kewajiban seperti shalat, puasa dan zakat saja, namun belum menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, itu semua belum cukup?


Dan terakhir, tidakkah kita melihat bagaimana sebuah rumah dibuat? Ia dibuat dari beberapa unsur yang digabungkan. Lihatlah bagaimana pintu disatukan dengan jendela, batu bata, semen, atap yang terbuat dari genting. Adakah diantara mereka yang kemudian berkata kepada setiap tukang bangunan yang ingin memasangnya bahwa pintu lebih mulia, lebih pandai, lebih cerdas, lebih memiliki kemampuan hingga tidak layak untuk dipasang di depan rumah berdekatan dengan jendela, tapi selayaknya ia di atas menggantikan genting karena pintu lebih layak menghalau hujan dan panas? Atau pernahkah kita mendengar batu bata merasa enggan untuk disatukan dengan semen sehingga ia merasa lebih hebat hingga tidak butuh semen? Jika semua ini terjadi lalu bagaimana dengan rumah yang dibuat? Akan terbentukkah ia menjadi rumah yang nyaman? Seperti inilah analogi untuk kita yang berada dalam jamaah da’wah. Jangan melihat di tempat mana kita ditempatkan akan tetapi kita harus senantiasa introspeksi diri dan bertanya, lalu dimanakah Allah menempatkan kita? Jika kita bangga dengan kemampuan kita yang sedikit lalu merasa lebih hebat dari yang lain sehingga tidak mau ditempatkan atau diarahkan untuk beramal jama’i, maka akan terbentuk kah rumah yang sejuk yang dapat mengayomi para objek da’wah hingga mereka merasa betah dan nyaman di ‘rumah’ tersebut?


Dan untuk lebih menyederhanakannya, maka saya akan buat menjadi dua pertanyaan. Pertama, yakinkah kita bahwa setiap pilihan yang kita pilih ada balasan yang telah Allah siapkan berupa surga dan neraka? Dan kedua, Jika kita harus memilih, manakah yang kita pilih, Cinta yang membawa kita menjadi fujur dengan balasan neraka atau taqwa yang akan berbuah surga?


Semua pertanyaan ini sudah selayaknya menjadi introspeksi untuk kita bersama. Jika pada pertanyaan pertama keyakinan itu telah pudar, maka mari kita rekonstruksi kembali pemahaman kita tentang dari apa dan kepada siapa kita kembali? tentang ma’rifatullah, ma’rifaturrasul, tentang islam, iman, dan ihsan. Baru setelah itu kita layak berbicara lebih jauh tentang da’wah hingga orang-orang yang merasakan integritas kita dalam beramal hingga mereka pun layak memberikan kita gelar sebagai aktivis da’wah ! Jangan sampai kita menjadi aktivis da'wah layaknya lilin !




Allahu’alambishshowab



Bekasi, 25 Maret 2010
-irwan setiawan-
Share this article :


 
Support : Terdepan | Menebar | Manfaat
Copyright © 2013. FKDF Unpad - All Rights Reserved
Template Created by Departemen Syiar Media Islam Modified by Rumah Desain
Proudly powered by Blogger